Sabtu, 20 Desember 2008

i remember

2 hari yang lalu, di labkom, seorang adek tingkat gw nyetel lagu st12 yang model video klipnya Nadine Candrawinata itu loh. apa lah itu judulnya gw lupa. pokonya itu lah. dan karena gw ga suka ama tuh lagu gw bilang "lagunya najis banget sih!!".
si adek tingkat menjawab "ga boleh gitu mbak, ini karya seni. kita harus ngehargain itu."

ngedenger pernyataan itu gw jadi inget sosok si bangsat.

same case..

Sabtu, 13 Desember 2008

DATA AJA

Kamis, 27 September 2007

Tragedi rekrutmen elit

PUTUSAN Mahkamah Agung (MA) Nomor 1384K/ Pid/2005 yang menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan kepada Nurdin Halid (19/9) mengonfirmasi adanya persoalan dalam rekrutmen elit politik oleh parpol.

Ada sekurangnya dua fakta pendukung terkait persoalan rekrutmen elit parpol. Pertama, sebelum menjadi terpidana dalam kasus korupsi distribusi minyak goreng, Nurdin Halid baru saja dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Golkar menggantikan Andi Matalatta yang menjadi menteri. Kedua, ketika menjadi calon anggota DPR Pemilu 2004, Nurdin Halid diduga terlibat dalam kasus korupsi BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh).

Dalam konteks persoalan rekrutmen elit politik, vonis dan penahanan Nurdin Halid bukanlah satu-satunya kasus. Dalam tiga tahun terakhir, terlalu banyak anggota DPRD menjadi tersangka dan terpidana kasus korupsi.

Rekrutmen politik
Rekrutmen politik merupakan salah satu fungsi parpol. Rekrutmen politik adalah proses ke arah pengisian (staffing) peran-peran politik yang telah dirumuskan dalam sistem politik (Seligman, 1964)
Proses rekrutmen politik selalu bermakna ganda.

Pertama, menyangkut seleksi untuk menduduki posisi-posisi politik yang tersedia, seperti anggota legislatif, kepala negara dan kepala daerah. Kedua, menyangkut transformasi peran-peran non-politik warga yang berasal dari aneka subkultur agar menjadi layak untuk memainkan peranperan politik (Cornelis Lay, Prisma No. 4-1997).

Rekrutmen politik, di mana pun, memiliki pola yang serupa tapi tak sama. Sekurangnya, ada tiga pertimbangan dalam proses rekrutmen politik.

Pertama, rekrutmen politik merupakan indikator yang sensitif dalam melihat nilai-nilai dan distribusi pengaruh politik dalam sebuah masyarakat politik. Kedua, pola-pola rekrutmen politik merefleksikan sekaligus mempengaruhi masyarakat.

Ketiga, pola-pola rekrutmen politik juga merupakan indikator yang penting untuk melihat pembangunan dan perubahan dalam sebuah masyarakat politik.

Dengan tiga pertimbangan itu, kajian mengenai rekrutmen politik mengharuskan kita menghampiri isuisu krusial, seperti basis legitimasi politik, rute yang ditempuh ke arah kekuasaan, keterwakilan politik, hubungan antara rekrutmen politik dan perubahan politik, dan akibat-akibat bagi masa depan politik.

Titik lemah
Sebagai anggota DPR, Nurdin Halid adalah elit politik yang direkrut Partai Golkar. Lolosnya terpidana kasus korupsi (Nurdin Halid dan kawan- kawan) menjadi elit politik mengindikasikan dua hal. Di satu sisi, eksistensi parpol menyerupai kerumunan (mob) massa.

Dalam kerumunan, ikatan keanggotaan sangat longgar atau bahkan tidak ada ikatan sama sekali. Siapa pun tanpa kualifikasi moral, sosial, status sosial ekonomi dan sebagainya bisa datang dan pergi atau menjadi bagian dari kerumunan, dengan tujuan masing-masing tanpa kendali.

Di sisi lain, longgarnya sistem rekrutmen elit politik yang disebabkan bukan semata-mata persoalan komitmen pribadi yang bersangkutan dan parpol melainkan juga lemahnya sistem rekrutmen politik itu sendiri. Lolosnya terpidana korupsi berarti rangkaian seleksi dalam rekrutmen tidak efektif dan tidak berkualitas.

Sebagaimana pernah dikemukakan, rekrutmen DPR dilakukan melalui prosedur seleksi yang bertingkat mulai dari seleksi sistem, seleksi parpol, seleksi administratif, seleksi penegakan hukum administratif, dan seleksi politis.

Dalam sistem proporsional yang menggunakan sistem daftar nama (list) calon dalam pemilu, titik lemah seleksi sama sekali bukan terletak pada seleksi politik yang dilakukan rakyat (pemilih).

Rakyat hanya memilih calon yang disodorkan parpol. Titik lemah terletak pada seleksi sistem oleh parpol, seleksi parpol yang ditentukan oleh pimpinan parpol, seleksi administratif oleh Komisi Pemilihan Umum, seleksi penegakan hukum administratif oleh Panitia Pengawas Pemilu.

Dalam seleksi sistem, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat seperti setia pada ideologi bangsa dan dasar negara. Apakah seorang koruptor bisa dikatakan setia pada Pancasila dan UUD 1945?

Dalam seleksi parpol, seorang calon wajib memenuhi kriteria tertentu, seperti loyalitas, dedikasi dan kredibilitas. Apakah seorang koruptor layak disebut memiliki dedikasi dan kredibilitas?

Dalam seleksi administratif seorang calon wajib memenuhi berbagai kriteria, seperti Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK/SKKBsurat keterangan kelakuan baik). Apakah seorang koruptor layak mendapatkan SKCK? Kalau ada SKCK, bagaimana mungkin kepolisian mengeluarkan SKCK untuk seseorang yang terkait berbagai kasus korupsi?

Dalam seleksi penegakan hukum administratif diuji persyaratan seseorang yang dinyatakan lolos sebagai calon anggota DPR. Apakah seorang koruptor layak mendapatkan SKCK? Kalau ada SKCK, mengapa bisa dinyatakan lolos?

Dilema
Salah satu perbedaan menonjol antara partai kader dan partai anak bangsa (catch all party) terletak pada sistem rekrutmen. Jika rekrutmen partai kader menggunakan sistem merit, rekrutmen partai anak bangsa lebih longgar. Dalam partai anak bangsa, seseorang bisa direkrut menjadi elit dengan syarat memiliki sumber daya, seperti popularitas dan modal, yang dapat menjadi magnet bagi pendukung.

Dalam konteks itu, Nurdin Halid memenuhi syarat untuk direkrut menjadi elit politik. Dia adalah Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), organisasi olah raga paling terkenal.

Dengan kedudukan itu, relasinya menjadi sangat kuat, termasuk pada elit pemerintahan. Selain itu, Nurdin Halid juga seorang pengusaha yang memiliki modal besar. Dengan itu, ia mampu memperkuat sumber daya parpol, termasuk untuk biaya politik ( political cost).

Kelemahan sistem rekrutmen yang terbuka mengabaikan kaderisasi. Walaupun kenyataannya Nurdin Halid sejak lama menjadi kader Partai Golkar, sejatinya dia bisa dengan mudah menjadi elit politik tanpa perlu meniti karier politik dari bawah. Namun demikian semakin banyak tokoh-tokoh terkenal, selebritis dan pemilik modal direkrut sebagai elit semakin besar munculnya persoalan kaderisasi (bottle neck).

Rekrutmen yang terbuka juga menuntut kualitas seleksi dari parpol yang jauh lebih ketat terkait kriteria yang ditetapkan sebagai calon elit, seperti kesetiaan pada dasar negara dan ideologi bangsa, dedikasi dan kredibilitas, dan sebagainya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kasus Nurdin Halid menguatkan adanya dilema yang dihadapi partai anak bangsa. Pengambilan keputusan tanpa memperhatikan akibat bisa memicu reaksi politik yang tidak menguntungkan. Tidak heran jika pimpinan Partai Golkar mengaku kecolongan dalam kasus Nurdin Halid. Istilah kecolongan seharusnya dimaknai sebagai kesalahan dari permulaan, dari penetapan sebagai calon angggota DPR dalam Pemilu 2004.

Pelajaran bagi parpol
Dengan bahasa yang berbeda-beda, sejumlah parpol diproyeksikan sebagai partai anak bangsa, yang ditunjukkan dengan sistem rekrutmen terbuka. Ada partai yang menerapkan sistem terbuka secara melembaga namun ada juga yang malu-malu dengan menggunakan istilah inklusif dan pluralis.

Secara strategi hal itu dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan yang besar. Fakta bahwa partai anak bangsa selalu dominan dalam pemilu baik di Eropa (sejak PD II) maupun di Dunia Ketiga, semakin menguatkan semangat memproyeksikan sebagai partai anak bangsa. hf

Drs Joko J Prihatmoko MSi Dosen dan peneliti FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang


http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=9943&Itemid=62




Involusi Politik Esei-esei Transisi Indonesia

ipd

Penulis : Drs. Cornelis Lay, MA
Editor : Umi Lestari dan Novadona Bayo
Penerbit : PLOD dan JIP UGM, Yogyakarta
Edisi : Cetakan Pertama, Januari 2006
Tebal : 308 + xiv halaman
ISBN : 979-9815-03-7
Pe-review : Mujaddid Muhas

Berawal dari metafora Kotak Pandora yang membuka literatur Involusii Politik, memberikan catatan pembuka yang menarik dan layak untuk menjadi rujukan bacaan pada bab-bab selanjutnya. Kotak Pandoraii yang mengisahkan adanya perubahan tatanan melalui terbukanya sebuah Kotak Pandora, “Pandora, dear pandora, have pity upon us! Free us from this gloomy prison! Open, open, we beseech you!” Dimaknakan terbukanya selubung otoritarianisme orde baru yang telah lama bercokol dan menjangkiti bangsa Indonesia dengan segala dinamikanya.

Ketika reformasi yang didengung-dengungkan selama ini dan hampir disemua lapisan kekuatan bangsa, maka simbol terbukanya Kotak Pandora menjadi awal dari perubahan menuju tatanan yang lebih baik dan menjanjikan. Pada kali kedua terbukanya Pandora melahirkan sebuah “harapan” yang idealnya dapat menyembuhkan kejangkitan dan kebobrokan sebagaimana hal-hal yang terbuka dan beterbangan pada pandora yang pertama. Meskipun demikian makhluk kecil jahat yang bersayap coklat juga tetap turut dan mengonfrmasikan kepada masyarakat bahwa kedua hal akan hadir bersisihan dalam kehidupan manusia.

Secara rinci buku ini terdiri dari empat bagian yaitu bagian pertama yang merupakan catatan pembuka mengenai kisah Kotak Pandora dan rekrutmen eliteiii menjelang runtuhnya Orde Baru sebagai bab 1 dan 2. Bagian berikutnya, meretas jalan perubahan. Masing-masing bab 3 sampai 7 berisikan perubahan konstitusi, pemilihan umum, moratorium politik, modal-pemodal demokrasi, kebebasan informasi dan demokrasi. Sementara pada bagian ketiga, konfigurasi politik pascasoeharto dan perubahan dari negara ke masyarakat menjadi dua bab yang ada didalamnya.

Dapat terlihat dengan terbukanya kran desentralisasi atas sentralisasi pemerintahan selama Orde Baru. Kemudian beralihnya kekuatan dari eksecutive happy ke legislative happy melalui partai politik (parpol). Dalam kadar yang berlebihan memberikan dampak negatif seperti adanya korupsi berjama’ah dan merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat pada partai politik dan maraknya konflik kekerasaniv yang terjadi dihampir semua daerah di Indonesia. Oleh karena pengertian reformasi yang disadur secara tidak rapi oleh pengambil kebijakan.

Kemudian melihat rekrutmen elite menjelang keruntuhan Orde Baru. Dengan melakukan sejumlah prediksi terutama pada isu-isu krusial yang menyangkut pertama, basis legitimasi elitev politik yang di bangun diatas kharisma individual yang merupakan figur sentral sebagai penyeimbang aneka kekuatan yang bersaing dalam masyarakat. Kedua, rute yang ditempuh ke arah kekuasaan misalnya melalui pemilu. Ketiga, keterwakilan elite politik yakni masa depan elite politik terletak pada derajat keterwakilan yang wajib mencerminkan prinsip representasi.

Keempat, hubungan antara rekrutmen elite politik dan perubahan politik, melalui pembentukan atau konsolidasi kelas politik baru. Ditandai oleh adanya penguatan basis material yang terjadi sejak penggalan tahun 1980-an. Kelima, akibat-akibat yang ditimbulkan bagi masa depan politik. Diakhir bab 2 ini, penulisnya memaparkan, ”keterlibatan yang semakin massif pada kurun yang hampir bersamaan di semua jenjang ekonomi -pusat sampai daerah- mengindikasikan pada kita bahwa proses yang ada adalah suatu proses konsolidasi yang sistematis” (h.26).

Buku yang diterbitkan oleh Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah dan Juruisan Ilmu Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada ini, pada bagian kedua, membahas perubahan konstitusi yang dimulai oleh keinginan para mahasiswa untuk mendorong isu amandemen UUD 1945 yang kini dalam kadar tertentu dinilai sudah tak relevan dengan perkembangan zaman. Penulisnya membahasakan, ”perubahan konstitusi sebagai syarat untuk memfasilitasi proses transformasi dari liberalisasi politik mestinya bukan sesuatu yang janggal bagi banyak peradaban politik” (h.38). Disamping itu, perubahan konstitusi menurutnya juga adalah adanya penerimaan dan pengakuan terhadap hak-hak politik minimum rakyat.vi

Dengan mengambil contoh relevan dari pengalaman Korea yang telah terlebih dahulu merubah konstitusinya. Adanya pembatasan yang tegas masa jabatan presiden hanya untuk satu kali dalam tujuh tahun. Tidak dapat membubarkan parlemen dan hanya diperbolehkan menyatakan keadaan darurat jika mendapat persetujuan parlemen. Sementara Philipina pula melakukan perubahan yang rada mirip setelah adanya gerakan people power yang meruntuhkan rezim Ferdinand Marcos.

Pentingnya perubahan konstitusi dalam dua hal tersebut, sepertinya bukan tanpa sebab. Penulisnya yang juga memiliki pengalaman di banyak tempat dan daerah dalam melakukan penelitian ini mengatakan, ”warga Indonesia keturunan Tionghoa dan India, masih tetap dalam statusnya sebagai ”bukan warga negara” yang harus bergelut dengan keringat dan sogokan untuk membuktikan dirinya sebagai warga negara yang secara administratif sahvii. Pada halaman yang sama dikatakan,”masih efektifnya pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi etnik keturunan Tionghoa dan India”. Disebutnya kemudian sebagai ”peristiwa-peristiwa sipil siklus hidup manusia”.

Dua bab selanjutnya adalah pemilihan umum (pemilu) dan moratorium politik. Menjelaskan tentang hal-hal yang berkenaan dengan penyertaan perwakilan parpol dalam lembaga yang harus bersifat netral, imparsial, dan nonpartisan sebagai pilihan tengah yang paling mungkin. Dengan tak mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang mendasar. Pertama, kepentingan antara posisi parpol sebagai peserta pemilu dan sekaligus sebagai penyelenggara. Berakibat pada deadlock-nya pembahasan dan perumusan tingkat teknis dalam Komisi Pemilihan umum (KPU), yang akan berakibat pada gagalnya pemilu secara keseluruhan.

Kedua, terjadinya ”persekongkolan” antarpeserta pemilu yang memberikan peluang terhadap hadirnya ”politik uang” dan ”politik dagang sapi”. Dengan terus berharap agar masing-masing person bekerja secara kolektif dalam upaya penyelamatan Indonesia. Ketiga, kesulitan parpol menemukan orang-orangnya yang akan bertindak sebagai wakil parpol terutama pada partai-partai yang hanya ”papan nama”. Secara garis besar menyulitkan. Karena partai-partai yang memiliki basis ”papan nama” tadi selain dituntut untuk memiliki wakil juga harus memberikan pendidikan politik internal pada anggota-anggota yang barangkali telah terserap pada parpol besar dan berpengaruh. Sebuah dilema, memang!

Tragisnya, akan menjadi kemungkinan keempat. Bahwa pemaksaan kehendak kelompok parpol besar atas parpol kecil akan terjadi. Artinya demokrasi akan mengalami tingkat pengujian berikutnya. Pada temuan dilapangan penulisnya juga memaparkan setidaknya tujuh persoalan yang memerlukan penanganan atas masalah kepemiluan dan aktualitas demokrasi yang memerlukan penyelesaian dini.

Secara ringkas ketujuh persoalan itu adalah bekerjanya struktur otoritarian dan oligarkis ditingkat daerah, isu money politics, adanya kecenderungan dua massa yang saling bertolak belakangviii, kecenderungan masyarakat yang mengukur hasil pemilu adil dan jujur pada hasil akhirnya dan bukan pada prosesnya, godaan menggunakan kekerasan sebagai daya tawar kepentingan sosial, kebangkitan kembali ”politik komunal” atau ”politik identitas” yang kemudian menyarankan melihat literatur bertajuk ”Black Skin, White Mask” milik Frantz Fanon (1967) dan ketujuh adalah problema penguatan ”politik angka”ix .

Moratorium politik: sebuah kebutuhan
Untuk moratorium politik, buku ini mengulas peliknya kontroversi yang kerap terlontar dari Presiden Gusdur ditengah-tengah kemelut bangsa atas krisis yang ternyata tak kunjung reda, meskipun dalam beberapa hal banyak relevansi dari kontroversial tersebut sebagai refleksi. Penulisnya Cornelis Lay menjelaskan,”sejauh wacana publik bisa dipercaya sebagai alasan dari Pemerintahan Gusdur bersumber pada lahan politik, yang masih ditandai oleh ketidakpastian dan silang pendapat lintas elite tanpa berkesudahan” (h.89).

Lebih jauh kemudian juga dipengaruhi oleh adanya mutual trust yang menjadi investasi negatif bagi penyelesaian krisis dalam mewujudkan agenda reformasi. Setidaknya, inilah yang memunculkan mengapa harus ada moratorium politik. Belum lagi masih banyak tertundanya agenda reformasi serta komunikasi antarelite politik yang menemu ”kuldesak”. Komunikasi yang terjadi justru vis a vis antar tokoh yang satu dengan lainnya terutama dapat dilihat dari berhadap-hadapannya kekuatan legislatif dan eksekutif secara tajam.

Selanjutnya dapat tersaksikan ketika itu, hampir tak berfungsi dengan baiknya koordinasi antar pembantu presiden dalam bentuk kementerian akibat adanya penggantian dadakan tanpa dasar yang jelas. Serta hal-hal lain yang menjadi menu keseharian publik atas kelakuan elite politik. Walaupun disatu sisi kemudian ada yang menganggapnya sebagai proses berdemokrasi yang mulai menunjukkan dinamika demokrasi kearah sejatinya.

Untuk Bab 6 dan 7 dibahas dua hal yang memengaruhi demokrasi yaitu modal, pemodal dan kebebasan informasi yang berusaha diulas terutama mengenai investasi demokrasi. Dalam bentuk terciptanya kepastian usaha, tegaknya hukum sebagai bagian inherent dari sistem politik demokratis, peluang berekspresi dari semua lapisan masyarakat secara terbuka dan terlembaga. Termasuk pada wilayah-wilayah kebebasan informasi.

Jika melihat tingkat pembredelanx pada Orde Baru dalam jumlah yang mencengangkan, dapat dibayangkan bahwa kebebasan informasi dari dan ke publikxi melalui industri media mendapat cobaan dan pengalaman pahit. Sehinga terlihat diakhir bab kebebsan informasi, penulis yang komentarnya kerap menghiasi media massa ini memberikan semacam wanti-wanti, ”jika media massa ingin menikmati status kemerdekaannya yang terbebas dari campur tangan negara, maka media massa harus mau ikut mengambil bagian dalam perjuangan besar mewujudkan demokrasi” (h.161).

Sedangkan pada bagian ketiga lebih dominan memaparkan sembilan konfigurasi kekuatan parpol Pasca-Soeharto lengser. Kesembilan konfigurasi itu adalah (1) Kekuatan politik Islam melalui lembaga parpol seperti Partai Bulan Bintang, Masyumi Baru, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Umat Islam dan lainnya. (2) Kekuatan politik nasionalis-kebangsaan melalui Partai demokrasi Indonesia (PDI), Partai Nasional Indonesia. (3) Kekuatan diluar dari pertikaian ideologi masa lalu seperti Partai Amanat Nasional, Partai Uninasional Demokrasi Indonesia, Partai Buruh dan lainnya. (4) Kekuatan Golongan Karya yang akan tetap eksis dalam perpolitikan nasional. (5) PPP yang berasal dari hasil fusi masa Orde Baru, sekalipun memiliki basis sosial dan infrastruktur sampai kedaerah tetapi hadirnya Partai kebangkitan Bangsa dan partai Islam lainnya cukup mengancam kekuatan PPP. (6) Berakhirnya kekuatan PDI Budi Hardjono yang secara nyata telah menjelma menjadi kekuatan PDI Megawati. (7) Militerxii terutama angkatan darat yang masih memiliki kekuatan ”politik” signifikan. (8) Birokrasi, tetap menjadi andalan kekuatan lainnya. Hanya saja kehadiranya akan dipangkas oleh aturan untuk tak berpartai politik,xiii membuat kekuatanya tak akan terlalu muncul dipermukaan. (9) ”Etnonasionalisme” yang terus muncul dalam bentuk tuntutan daerah. Kesemuanya rata-rata mengalami pergeseran konfigurasi kekuatan. Dapat dilihat dari militer–birokrasi ke parpol atau dari peran-peran negara yang berpindah kepada masyarakat.

Pada bagian akhir buku Involusi Politik yang dieditori oleh Umi Lestari dan Novadona Bayo ini membahas tentang peretasan Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN) dalam bentuk mengira-ngira Indonesia 2003-2005. Ada yang menarik, penulisnya menyebut KKN pada Orde Baru sebagai the way of doing politics dengan argumentasi bahwa wilayah sebaran dan kedalaman gejala KKN telah menjangkau setiap inci dari wilayah politik yang tersedia dan telah menjangkau level yang paling rendah dari struktur kekuasaan yang terbangun serta dalam waktu yang lama ditopang oleh kapasitas untuk menjalankannya secara efektif. Untuk mengurangi atau memberantas demikian deras dan mewabahnya KKN pada masa Orde Baru, kembali menyatakan,”penyudahan KKN membutuhkan perubahan secara total sistem yang dibangun untuk digantikan dengan sesuatu yang baru”(h.249).

Sementara terjadinya konsolidasi dan kontestasi antar kekuatan-kekuatan ideologis, mobilisasi serta masifikasi politik nasional dalam prediksi kehidupan berdemokrasi selama 2003-2004 yang tak terelakkan. Meskipun terlihat tak sehebat pada tahun-tahun awal reformasi. Dengan begitu menutup tulisan akhir dalam buku ini, kemudian penulisnya membeberkan simpul-simpul yang dapat mengikat tematik-tematik kajian kedalam beberapa kata akhir.

Pertama, terdapat perbedaan fundamental berupa tantangan politik domestik antarsatu tahun sebelum dan setelah pemerintahan baru terbentuk. Kedua, corak politik yang berbeda di sisi lain akan saling memperkuat satu sama lain. Ketiga, sentralisasi posisi pemilu akan mengaburkan isu pemerintahan secara sistemik dan struktural. Keempat, pembentukan pemerintahan baru lebih dapat menjamin kepastian dari pemerintahan sebelumnya. Sedangkan yang terjadi pada hubungan antar kelembagaan negara disoroti akan mengalami sengketa kewenangan meskipun dasar kehadirannya dinilai kuat dan mendasar menjadi simpul yang kelima.

Sebagaimana diakui penulisnya, buku yang memuat tentang keterjebakan, ”keterpenjaraan”, involusi Indonesia dalam tahun-tahun pertama reformasi. Sebagian besar dalam prediksi dan catatan faktual yang gayung-bersambut dalam buku ini dapat menjadi referensi otentik bagi siapa saja yang ingin melihat lebih mendalam peristiwa dan rekaman ilmiah dari akibat dan hakikat reformasi. Inilah ketika demokrasi diujisignifikansi, inilah saat isi demokrasi dibedah, inilah waktu-waktu mustajab idealitas demokrasi ditegakkan, atau kita ingin mengatakan inikah paradoksal demokrasi? Meskipun terkadang berulang-ulang, namun karena gaya bahasa yang khas, lebih jelas lagi menjelaskan, seolah penulisnya hadir melisankannya.

http://www.dedymm1524-blogspot.com/?p=25





Politik Identitas Dalam Lokalisme Politik di Maluku

Oleh M.J Latuconsina

Mahasiswa S2 Ilmu Politik UGM

Sejak direalisasikan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan derivasi berbagai kebijakan penjelasan teknisnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme politik di Indonesia.

Hal ini menandakan, pilkada langsung di tanah air lebih bermakna sebagai pengembalian hak-hak dasar bagi masyarakat di daerah dengan memberikan kemenangan yang utuh dalam proses rekruitmen politik lokal secara demokratis. Rakyat sendiri menentukan pimpinannya dan menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan terkait harkat hidup mereka di daerah. Terlepas dari itu, perhatian besar terhadap proses rekrutmen elit politik senantiasa didasarkan pada terakomodasinya beragam kemajemukan dalam sistem politik lokal.

Tidak terkecuali Maluku yang merupakan salah satu daerah di tanah air yang majemuk. Dimana kemajemukan Maluku ditandai dengan keberadaan berbagai suku, bangsa, ras, bahasa dan agama yang mendiami daerah ini. Kemajemukan itu tidak hanya terfokus pada satu wilayah saja, namun kemajemukan itu membentang dari selatan sampai ke tenggara kepulauan Maluku.

Kemajemukan tersebut tidak terlepas karaktersitik yang dimiliki rakyat di daerah ini, sekaligus menjadi pembeda diantara satu dengan yang lainnya. Dalam aras lokal, lanskap sosial-budaya tersebut senantiasa berimplikasi terhadap praktek politik di ranah lokal, dimana praktek politik yang dimainkan oleh elit politik akan mengarah pada politik identitas yang didasarkan pada kesamaaan suku, bangsa, ras, bahasa dan agama.

Hal ini bukan sesuatu yang mengada-ngada. Fakta menunjukan praktek politik di ranah lokal di Maluku masih didominasi oleh semangat politik identitas yang begitu kuat. Politik identitas akan hadir dan menguat saat diselenggarakan pilkada langsung yang digelar pada sejumlah Kabupaten/Kota di Maluku. Begitu pun menghadapi pilkada langsung di Provinsi Maluku, politik identitas mulai mencuat dan menjadi wacana dominan.

Bahkan rakyat mulai membincangkan koalisi pasangan calon kepala daerah (calkada), yang didasarkan pada keterwakilan asal etnis atau agama. Misalnya calkada yang berpasangan menurut keterwakilan etnis Ambon-Kei, Seram-Kei, Buru-Seram, Lease-Seram, Islam-Kristen dan sejumlah parameter kemajemukan lainnya, yang sengaja menjadi syarat non formal para calkada untuk melakukan koalisi guna bersaing dalam pilkada langsung di Provinsi Maluku.

Rakyat di daerah ini tidak hanya mempersoalkan pasangan calkada tersebut telah diusung oleh partai apa? Namun yang terpenting adalah pasangan calkada tersebut sudah berpasangan dengan figur calkada dari etnis dan agama mana? Kondisi semacam ini dapat ditemui saat pilkada langsung di Kota Ambon, dimana para calkada yang melakukan koalisi adalah representasi dari keterwakilan etnis dan agama yang mendiami wilayah administratif Kota Ambon.

Tapi apakah politik identitas merupakan sesuatu yang sah-sah saja dalam perspektif demokrasi?. Tentu ia, sebab praktek politik identitas sepanjang masih menyehatkan sistem politik lokal, maka sebaiknya di praktekan secara terus menerus dan tidak mesti ditinggalkan, karena praktek semacam ini bukan merupakan bagian dari politik primordialisme sempit. Namun semata-mata demi mengakomodasi beragam kemajemukan dalam sistem politik lokal.

Sebenarnya praktek politik identitas bukan merupakan trend yang baru di praktekan di Maluku seiring dengan digelarnya pilkada langsung, sebab pada daerah-daerah lainnya di tanah air sudah sekian lama mempraktekan model politik semacam ini, yang tidak lain dan tidak bukan untuk dapat mengakomodasi berbagai kemajemukan dalam sistem politik lokal mereka.

Oleh karena itu, koalisi pasangan calkada berdassrkan reprsentasi suku, agama dan etnis sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mengelola konflik di ranah lokal. Asumsinya jika dalam politik di aras lokal dapat mengakomodasi berbagai kemajemukan, tentu akan dapat meminimalisir terjadinya konflik akibat ketidakpuasan dari suatu suku, agama dan etnis, yang tidak terakomodir dalam proses pilkada langsung.

Demokrasi Konsosiasional

Menguatnya fenomena politik identitas dalam sejumlah pilkada langsung di Maluku, sebenarnya merupakan bagian dari upaya etnis, komunitas agama, dan budaya untuk dapat terakomodasi dalam sistem politik lokal. Senada dengan argumen itu, Seligman (1975) mengatakan bahwa, rekrutmen politik juga berfungsi untuk merekrut anggota-anggota sub kultur tertentu, komunitas agama, status kelas dan komunitas etnis.

Oleh karena itu, praktek pilkada langsung di Maluku yang diwarnai dengan koalisi pasangan calkada berdasarkan keterwakilan suku, etnis dan agama tetap diterapkan, sepanjang praktek semacam ini mendorong terciptanya demokrasi. Selain itu, melalui pilkada langsung bukan hanya menjadi sarana mengakomondir kemajemukan dalam sistem politik lokal saja, namun merupakan bagian dari upaya mengelola konflik politik di ranah lokal.

Selain itu, jika politik identitas mampu mengakomodasi beragam etnis, suku dan agama, tentu akan mampu menciptakan pembagian kekuasaan diantara keberagaman tersebut. Sehingga semua kelompok etnis, suku dan agama akan dilibatkan dalam pemerintahan, sekaligus kaum minoritas akan dijamin pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan di ranah lokal. Sehingga mereta tidak merasa menjadi warga daerah kelas dua.

Terkait dengan hal itu, menurut Robert Dahl (1992) bahwa, perasaan saling percaya untuk menjamin kondisi lainnya demi terwujudnya demokrasi yang stabil. Dimana sebagai suatu cara penyelesaian dalam kondisi pluralisme sub-kultural yang ekstensif perlu mengembangkan bentuk demokrasi konsosiasional yaitu adanya sebuah koalisi besar para elit atau pimpinan politik dari semua bagian yang penting dari masyarakat majemuk.

Oleh sebab itu, demokrasi konsosasional sudah saatnya dibumikan di Maluku, karena sesuai dengan kemajemukan yang terdapat di daerah ini. Pada negara-negara yang memiliki kemajemukan, model demokrasi konsosasional sudah lama di adopsi. Misalnya Swiss, memiliki perbedaan menyangkut bahasa ibu (Jerman, Perancis, Italia dan Romanch), agama (Protestan dan Katholik), namun di negara ini para elitnya dapat mencapai konsensus. Hal yang sama juga dialami Belgia dan Belanda yang majemuk seperti Swiss, tapi sukses dalam menerapkan demokrasi konsosasional

http://www.hotlinkfiles.com/files/931482_cgwzo/alamLokalismePolitikdiMaluku.htm

TERBAGI

gw sadar banget gw ini angkatan 2004. tapi kenapa gw ga bisa gitu aja ngelepas organisasi kampus. sampe kemaren aja, untuk sertifikat acara SEMNAS BEM, gw yang bikin. sebenernya gw ga masalah untuk ngelakuin apa pun. karena sudah jadi komitmen gw untuk bantu sebisanya gw. tapi hal itu jadi pertanyaan buat diri gw. masih layak ga sih gw bersikap kaya gini?? temen2 seangkatan gw yang pada masanya aktif di organisasi aja kayanya ga segininya deh,, apa diri gw ya yang bermasalah. ketika temen2 gw fokus garap skripsi, gw belum bisa menjaga hati gw untuk serius melakukan hal yang sama dengan temen2 gw itu.


Jumat, 05 Desember 2008

cerita 27 November 2008

minggu kemaren gw dipusingkan oleh sesuatu yang sebenernya banyak dinantikan oleh temen2 gw.. seminar gw man!! akhirnya, proposal skripsi gw yang ga seberapa itu di acc juga untuk diseminarkan. tapi saat gw dapaet acc seminar, cerita2 yg nyeremin tentang seminar sempet bikin gw ngalamin yang namanya sidrom pra seminar, gw ketakutan setengah mampus. secara, bayangan gw bakal dapet pembahas dosen yang ga se-frame ama dosen pembimbing gw. gw takut ga bisa jawab pertanyaan2 para pembahas itu. gw ga siap menghadapi yang namanya seminar mengingat isi proposal skripsi gw yang "enggak banget" untuk kalangan dosen2 unila pada umumnya.

akhirnya,, dengan mengucap bismillah, gw ngadep kajur untuk minta pembahas dosen. dan alhamdulillah, atas dasar kedekatan psikologis gw ma sekjur.. bisa juga gw nge-loby tuh sekjur untuk ngedapetin pembahas dosen yang gw mau.

kamis, 27 november 2008, gw seminar. rasanya unbeliveble bgt..

sehari sebelumnya, hati gw galau bgt. gw pengen ditemenin temen2 gw.. tapi gw ga bisa maksa dong.. sampe akhirnya 2 temen gw pergi. gw jadi takut.. gw ga bisa tahan perasaan sedih itu, tapi ga mungkin kan gw bilang kalo gw minta ditemenin ampe besok karna gw ga sipa untuk besok.

malemnya, tambah sedih waktu gw dimarahin nyokap gara2 gw berniat ga ngasih apa2 untuk peserta seminar. ditambah lagi hujan mengguyur gw waktu nyari roti buat para perangkat acara seminar gw. apalagi, malem itu banyak sms dan telpon dari orang2 yang (ternyata) care bgt ama gw. bahkan subuh2 pada nelponin.

pagi itu,, gw cuma bisa pasrah atas apa yang akan terjadi. pembahas dosen yang gw tentuin sendiri seenggaknya mengurangi rasa kekhawatiran gw terhadap seminar proposal ini.

semua pertanyaan yg .... itu keluar dari bibir mereka. apalagi ketika pembimbing gw berbicara, gw cuma ga berani liat wajahnya, gw cuma ngeliat bibirnya yg bergerak2 ngeluarin suara yg .... (takut gw). sampe2 paz pembimbing gw itu nanya sesuatu ke gw, gw hanya bisa bengong. pembimbing itu ngulangin pertanyaannya, baru deh gw bisa ngomong. itu pun dengan volume suara yang minim bgt, dan gw harus mengulangnya karna pembimbing gw itu ga ngedenger jawaban gw. ngeri bo'..

akhirnya, selesai juga. seminar tercepat yang pernah ada di FISIP (mungkin). 45 menit. hasilnya, 78 bro!! otomatis A.

thank you to pembimbing dan pembahas gw. and big loph for sekjur. i loph all of my frenz. i loph u all!!