Jumat, 24 April 2009

http://pemilu.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/04/17/274/211406/kecenderungan-koalisi

Kecenderungan Koalisi
Jum'at, 17 April 2009 - 10:16 wib
-
text TEXT SIZE :
Share

Riak politik pascapemungutan suara 9 April 2009 kembali bergerak memusat. Percaturan para elite politik partai yang merasa sudah berhasil mengumpulkan suara rakyat sebagai modal transaksi politik gamblang dipertontonkan.

Kita bisa menyaksikan manuver beberapa elite menjajaki berbagai kemungkinan koalisi sebagai penanda tengah berlangsungnya penyatuan dan pembelahan kekuatan politik di tingkat nasional. Quick count lima lembaga, Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Nasional (LSN), LP3ES, dan CIRUS, menunjukkan bahwa dari hasil Pemilu 9 April 2009 kemungkinan hanya ada sembilan partai politik yang lolos ke Senayan, yaitu Partai Demokrat, PDIP, Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura.

Sementara 29 partai politik lain tidak bisa ke Senayan karena tidak mencapai ambang batas (parliamentary threshold) 2,5%. Berdasarkan hasil perhitungan cepat tersebut, Demokrat keluar sebagai pemenang pemilu legislatif. Namun, perolehan suara sekitar 20% tentu belum mencukupi untuk membangun sebuah pemerintahan yang kuat. Mau tidak mau Partai Demokrat masih harus memperhitungkan koalisi.

Dalam membangun koalisi, bila SBY dalam pertimbangannya menginginkan pemerintahan yang kuat dan efektif, mau tidak mau pendukung koalisi tidak cukup hanya dari PKS dan PKB karena belum mayoritas di DPR. Karena itu perlu ada tambahan anggota pendukung koalisi. Dalam konteks itu, penulis memprediksi bahwa SBY dan Demokrat cenderung tetap mengajak Golkar dalam berkoalisi. SBY sadar jika Golkar tidak diajak bergabung dalam koalisi, dia akan kewalahan berhadapan dengan DPR karena nantinya akan menghadapi dua "raksasa" di DPR, yaitu PDIP dan Golkar.

Kalau bisa dijadikan kawan, lalu kenapa pula harus dijadikan lawan? Pertimbangan lain untuk tetap mengajak Golkar tentu karena kontribusi Golkar dalam pemerintahan SBY-JK. Seandainya Golkar tidak bergabung dalam pemerintahan, semua program pemerintah tentu tidak akan terlaksana. APBN bakal susah mendapatkan pengesahan dan selalu akan ada hambatan-hambatan di parlemen.

Bahkan, jika SBY mengadu kepada mayoritas rakyat yang memilihnya dan DPR dibenci semesta rakyat, kebijakan pemerintah urung bisa dilaksanakan tanpa persetujuan DPR. Jika tidak ada Partai Golkar di pemerintahan pada 2004, kesuksesan pemerintahan yang dikampanyekan SBY adalah kemustahilan.

Segala klaim kesuksesan, dari penurunan harga BBM, swasembada beras, penghapusan utang (yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan), PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT) hingga Kredit Usaha Rakyat (KUR), tidak akan pernah bisa berjalan tanpa dukungan Golkar di parlemen. Bahkan, penambahan menteri dari unsur Golkar pun belum sebanding dengan jaminan bekerjanya program pemerintahan yang diberikan Golkar via DPR. ***

Terlepas dari itu semua, penulis berharap koalisi yang dibangun harus tetap berlandaskan pada pembentukan koalisi permanen. Koalisi terebut mesti diikat lewat kontrak yang detail dan terbuka menjadi standar etika dan fatsun politik baru yang harus dilakukan oleh calon presiden dan wakil presiden ke depan. Kejelasan bentuk koalisi 2009-2014 harus menjadi perhatian serius semua elite politik, pers, penggiat demokrasi, dan kalangan akademis demi menjaga keindahan demokrasi dan keajekan jalannya pemerintahan negeri ini.

Meskipun sementara jumhur ahli politik berkesimpulan bahwa presidensialisme dan multipartai adalah kombinasi yang sulit, partai pemenang 2009 harus sanggup membuktikan bahwa anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Itu akan tercapai jika etika politik koalisi dikedepankan dengan menghormati partai utama dalam menentukan soal pencapresan dan membagi portofolio kabinet bersama-sama di bawah kepemimpinan presiden terpilih.

Seperti hasil penghitungan suara yang kita saksikan sekarang, konsekuensi multipartai adalah tiadanya pemenang pemilu mayoritas. Sementara konsekuensi presidensialisme adalah terpilihnya presiden yang populer di mata rakyatnya. Jebakan perkawinan ini adalah bisa jadi presiden terpilih bukan berasal dari partai politik mayoritas meskipun dia bisa jadi pemenang mutlak. Atau, meskipun berasal dari partai pemenang pemilu legislatif, presiden terpilih belum memiliki dukungan yang cukup untuk mengamankan roda pemerintahan yang dia pimpin karena kemenangannya belum mayoritas.

Kemungkinan pertama sudah kita alami pada 2004 dan kita sudah sama-sama menjadi bagian dari sejarah negeri yang belajar berdemokrasi ini. Sementara hari ini, kemungkinan kedualah tampaknya yang sedang menghadang di depan mata. Hasil penghitungan suara cepat dari tiga lembaga survei (Lembaga Survei Indonesia, Cirus, dan LP3ES) memperlihatkan munculnya dua kelompok partai hasil Pemilu 9 April 2009.

Kelompok pertama adalah partai papan atas, yakni Partai Demokrat dengan perolehan suara di kisaran 20-21%, PDIP dan Partai Golkar di kisaran 14-16%. Kemudian kelompok kedua adalah partai-partai kelas menengah, yakni PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura, dengan perolehan suara di kisaran 3-8%. Pada akhirnya, tidak semua partai itu akan berkuasa di eksekutif. Bakal terjadi pembelahan koalisi partai berkuasa dan koalisi partai oposisi.

Ini wajar dalam sistem multipartai di legislatif dan presidensial di eksekutif. Penulis berharap tiga partai papan atas tersebut (Demokrat, Partai Golkar, dan PDIP) tidak maju sendiri-sendiri dalam pencapresan dengan mengajak koalisi partai sedang dan partai-partai kecil yang tidak mempunyai kursi di DPR karena dengan demikian siapa pun nanti yang menang dalam pilpres, dengan skenario satu putaran, pemerintahan yang terbentuk akan lemah.

Ini terjadi karena kekuatan politik di DPR tidak besar, tetapi minoritas. Dengan demikian, harapan akan terbentuk pemerintahan yang kuat dan efektif akan "jauh panggang dari api". Sehubungan dengan itu, saya berharap partai-partai politik dalam berkoalisi juga mempertimbangkan pemerintahan yang akan terbentuk nanti, jangan sampai tidak kuat dan efektif.

Meski demikian, jangan sampai juga semua partai berkumpul dalam satu blok. Perlu ada kekuatan oposisi yang berarti di DPR agar mekanisme checks and balances terbangun dengan baik.(*)

Lili Romli
Peneliti Pusat Kajian Politik UI

Tidak ada komentar: