Sabtu, 22 Maret 2008

data aja

PEMBARUAN ARAH PERJUANGAN PARTAI POLITIK
Oleh : Arbi Sanit
Pengamat Politik UI
Mendekati pemilihan umum (pemilu) ketiga di era reformasi Indonesia, semakin kental kontradiksi hak dengan kewajiban partai politik.
Partai semakin menegaskan dan memperjuangkan haknya untuk monopoli proses politik dan penguasaan pemerintahan negara, sekalipun perjuangan rakyat untuk menghadirkan calon perseorangan dan partai lokal menguat.Politisasi partai di parlemen semakin kreatif merekayasa mekanisme untuk memperoleh berbagai fasilitas dari negara, sekalipun anggaran pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana pelayanan bagi rakyat sudah begitu kecil.
Pembentukan partai baru dan daur ulang partai lama berlangsung terus, tanpa peduli kelemahan dan kegagalan sistem multipartai sejauh ini. Ambisi dan upaya politisi partai untuk berkuasa atas negara tidak pernah mereda, sekalipun sejauh ini kemampuan mereka untuk menanggulangi masalah masyarakat dan bangsa serta negara sembari memajukannya tidak memadai.
Tidak terbantahkan bahwa kondisi politisi dan partai seperti itu merupakan petunjuk bahwa partai, sebagai institusi politik rakyat,amat mendesak supaya diperbaiki alias direformasi secara substansial. Secara internal, banyak aspek partai yang memerlukan perbaikan.Akan tetapi, secara keseluruhan dapat dikategorikan menjadi pembaruan arah perjuangan dan reformasi strategi perjuangan partai.
Pembaharuan arah perjuangan partai diartikan sebagai penguatan basis kekuatannya dan penajaman visi serta cita-cita perjuangan di samping peningkatan relevansi program partai dengan permasalahan masyarakat, bangsa,dan negara.Tapi,semua itu tentu sebagai operasionalisasi demokrasi yang selama era reformasi lebih memberikan manfaat bagi kaum elite dan penguasa,karena partai menyandera kedaulatan rakyat (demokrasi).
Itulah sebabnya,koreksi arah perjuangan partai dilakukan dengan mengembalikan akar perjuangan partai kepada rakyat,sementara maksudnya adalah untuk merealisasikan kemakmuran (kesejahteraan) rakyat. Perluasan basis sosial partai yang merupakan dasar pembaruan arah perjuangan partai menjadi penting karena selama ini basis itu sempit dan kaku.
Lingkup basis itu adalah kelompok primordial yang merupakan unsur utama masyarakat majemuk Indonesia. Batasnya menjadi kaku karena dikukuhkan oleh ideologi dan organisasi partai. Konsekuensinya ialah lemahnya kekuatan perjuangan dan terbatasnya wilayah pengabdian partai.
Akan tetapi,urgensi itu dimen-tahkan oleh sikap ”asal selamat”para politisi, berdasar pandangan bahwa partai dan pimpinannya adalah cermin masyarakat.Karenanya,mesti direform menjadi cara berpikir yang mengutamakan fungsi partai dan peran elitenya sebagai pembaru masyarakat.
Dalam rangka itu, adalah mendesak bagi para politisi elite partai untuk mengombinasikan posisinya sebagai representasi masyarakat dengan kemandiriannya sebagai pemimpin organisasi politik sebagai alat perjuangan kesejahteraan rakyat. Ideologi punya potensi peran strategis untuk meluaskan basis sosial dan menajamkan sasaran pengabdian partai politik.
Kecenderungan sudah terbukti di masa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan di berbagai negara sedang berkembang. Meski begitu, untuk mengembangkan fungsi ideologi terhadap pembenahan kekuatan dukungan bagi partai, maka hal pertama yang perlu penegasan adalah keberpihakan substansi ideologi kepada rakyat, sehingga menjadi sukar dimanipulasi untuk kepentingan golongan dan atau elite tertentu.
Kedua, memastikan posisi dan fungsi serta kaitan secara seimbang di antara ideologi partai dengan ideologi (dasar) negara. Ketiga, penajaman ideologi partai supaya mudah dipahami awam serta tidak membuka peluang untuk membangun praksisnya secara gegabah. Keempat, menumbuhkan profesi dan keahlian ideologi di dalam partai, secara bersamaan dengan menyuburkan disiplin berpikir dan berorganisasi di kalangan politisi partai melalui pelembagaan politik.
Sebagai rencana sistematik tindakan yang perlu diwujudkan, program partai merupakan konkretisasi arah perjuangan yang diturunkan dari ideologi. Karena itu, program tidak boleh lepas dari tujuan dan peran partai,yaitu demokrasi dan makmur melalui langkah-langkah penyelesaian masalah sembari meraih kemajuan secara demokratik.
Maka, program hendaklah dipastikan memihak kepada masyarakat, bangsa, serta negara.Kepentingan elite partai dan golongannya sah disertakan, akan tetapi tidaklah etis bila diprioritaskan di dalam program.
Dengan begitu,terjagalah relevansi program partai. Metode kinerja penyusunan dan penetapan program seperti itu tetap diberlakukan bila partai berhasil menguasai negara, atau pun saat partai memerankan oposisi (minoritas) di dalam pemerintahan negara.(*)

Bagian terakhir dari dua bagian
Pembaharuan Arah Perjuangan Partai
Oleh: Arbi Sanit
Tanpa strategi yang tepat, dengan sendirinya arah perjuangan partai amat sukar dipertahankan. Boleh jadi,strategi yang mentah malah membelokkan arah perjuangan, karena alasan pragmatis kepentingan elite partai yang berkuasa secara internal atau eksternal. Strategi adalah cara mencapai tujuan jangka panjang, yang secara praktis ditopang dengan berbagai taktik sebagai operasi langsung secara sistematis, berdasar asumsi tentang kondisi lingkungan setempat (lokal), nasional,dan global.Karenanya, dibedakan strategi reaktif dengan inisiatif dan antisipatif.

Bereaksi berarti membalas aksi lawan,berinisiatif berarti sepihak memulai aksi terhadap lawan, dan mengantisipasi bermakna sedini mungkin mementahkan rencana aksi lawan. Semua aksi atau tindakan itu bisa diwujudkan dalam bentuk persuasi lewat perundingan dengan atau tanpa aksi damai untuk mendapat persetujuan, atau berbentuk tekanan atau kekerasan baik secara psikis maupun fisik, dengan pilihan fungsi defensif (bertahan) atau ofensif (menyerang).
Sejauh ini,pengembangan strategi dan penetapan kebijaksanaan strategi sampai kepada perencanaan strategis dan implementasinya secara strategis, ternyata mengerdilkan eksistensi dan peran partai terhadap masyarakat dan negara serta bangsa. Kehadiran partai yang cenderung bermotif idealisme ”mengawang” atau kepentingan sempit dan instan, mengondisikan pilihan strategi yang sesuai.
Akibatnya, partai terjerumus menjadi kekuatan politik oligarki, yang mengabaikan perjuangan nilai dan kepentingan rakyat, sebagaimana tecermin di dalam kepemimpinan dan organisasi serta kinerjanya. Tanggung jawab kepemimpinan terhadap mandulnya strategi perjuangan partai selama ini bukan saja berkenaan dengan aspek analisis strategi, melainkan juga dengan komitmen atau konsistensi terhadap pilihan strategis yang dipergunakan.
Hal itu terjadi karena lemahnya kaderisasi dan rekrutmen serta seleksi pemimpin oleh partai yang bermuara pada kapabilitas kepemimpinan (integritas, visi,kompetensi politisi dan negarawan, serta manajerial pemerintahan dan kepemimpinan transformasional) di samping kekuatan politik para pemimpin partai yang tidak memadai untuk menanggulangi masalah sambil membuat kemajuan.
Lalu,kontribusi pengorganisasian partai terhadap tumpulnya strategi dan arah perjuangan partai dimaksud adalah sentralisme dan oligarki kekuasaan di kalangan para pemimpinnya, yang dioperasikan melalui mekanisme kompromi, bahkan sudah menjurus menjadi konspirasi di samping nepotisme dan klik serta kroniisme. Di era reformasi ini, praktik berorganisasi seperti itu disarukan dengan mengedepankan prosedur dan formalitas demokrasi.
Ada fanatisme organisasi bahwa pada saatnya bisa menang tanpa koalisi. Amat memprihatinkan bahwa kecenderungan seperti itu tidak tersentuh oleh liberalisasi ekonomi dan otonomisasi sistem pemerintahan, sekalipun sudah diformulasikan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Sumbangan kinerja politisi partai kepada ketumpulan arah dan strategi perjuangan partai diindikasikan oleh disfungsi kebijakan publik yang mereka hasilkan.
Selain jumlah produksi yang rendah dibanding kebutuhan, relevansinya pun dengan masalah tidak cukup kuat.Apalagi bila dipertanyakan ketepatan visionernya dengan perkembangan global. Sungguhpun begitu, kebijaksanaan publik yang dihasilkan itu berbiaya tinggi alias boros, karena tidak dilandasi dengan kinerja politik yang efisien dan efektif.
Di luar sebab sistematik, kenyataan minimnya sumbangan kebijaksanaan publik bagi rakyat itu berakar pada kondisi pribadi para politisi partai yang tidak optimal mendukung kinerja mereka sendiri. Memang terjadi peningkatan pendidikan formal bagi para politisi penguasa di berbagai lembaga negara. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka minim pengalaman politik,yang diperlukan untuk mencapai kematangan mereka.
Sejarah politik dari era Orde Baru memang mengondisikan ketidaksiapan politisi partai tersebut.Sebab, di bawah rezim otoritarianisme waktu itu, besarnya risiko menjadi politisi, apalagi mempersiapkan diri menjadi pemimpin politik, menciutkan nyali kebanyakan orang.
Akibatnya,kaderisasi politisi dan pemimpinnya menjadi lumpuh, dengan akibat terjadinya kelangkaan politisi profesional dan calon pemimpin politik. Pada waktu pintu liberalisasi politik dibuka lebar sejak menjelang Pemilu 1999, bertaburanlah politisi dan calon pemimpin politik ”tiban”atau dadakan.Berlangsunglah mobilitas sosial instan.Tanpa persiapan dan latihan serta pengalaman politik, banyak pemangku berbagai profesi lain beralih menjadi politisi dan calon pemimpin politik.
Karenanya, tidak mengherankan apabila sampai lebih dari satu dekade reformasi Indonesia masih mengalami krisis politisi dan pemimpin politik profesional.Dari sini,Indonesia menghadapi kenyataan tidak siapnya politisi, bahkan pemimpin politik,membangun mesin politik untuk memutar roda partai politik. Meski begitu, kondisi politisi dan pemimpinnya seperti itu tidak bisa menisbikan tanggung jawab mereka untuk pembaharuan partai politik.
Sebab, mereka punya hak monopoli untuk berkuasa atas pemerintahan negara. Lagipula, monopoli peran kenegaraan itu mereka operasikan dengan mengesampingkan kompetisi dan transparansi serta akuntabilitas. Semuanya itu berakibat kepada lumpuhnya akses masyarakat sampai kaum elite bukan penguasa dan golongan menengah.
Lobi,bahkan tekanan aksi damai, pun tidak efektif untuk memengaruhi mereka.Karena itu, kesadaran akan tugas dan tanggung jawab mereka untuk memperbaharui partai saja motif yang tersisa bagi mereka untuk bertindak.(*)

Tidak ada komentar: