Jumat, 27 Maret 2009

PROPOSAL PENELITIAN BAB II

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas beberapa konsep yang menjadi acuan dalam penelitian ini. Pertama, bab ini membahas mengenai partai politik dan sistem kepartaian. Kemudian pada bab ini akan dibahas mengenai koalisi partai politik terkait sistem multi partai yang diterapkan di Indonesia. Selanjutnya akan disajikan beberapa teori koalisi.

A. Partai Politik dan Sistem Kepartaian

Pengertian partai politik menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik adalah:
“Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”

Sedangkan fungsi utama partai politik seperti yang dikutip Ari Darmastuti (2004 : 7) dalam Ramlan Surbakti adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Bagi sebuah partai politik, untuk mencari ataupun mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan ikut serta dalam pemilihan umum.

Salah satu fungsi yang harus dioptimalkan oleh partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan umum yaitu rekrutmen politik. Menurut Mawasdi Rauf (2006 : 14) rekrutmen merupakan salah satu fungsi dari partai politik yang sangat penting. Partai politik diharapkan menjalankan fungsi rekrutmen yang baik, yakni menempatkan kader-kader partai pada jabatan-jabatan di dalam partai dan jabatan-jabatan politik di luar partai (di lembaga eksekutif dan legislatif) berdasarkan kemampuan, kinerja, dan pengalaman kader yang bersangkutan.

Rekrutmen politik merupakan proses pengisian jabatan-jabatan politik pada lembaga-lembaga politik, termasuk dalam jabatan dalam birokrasi atau administrasi negara dan partai-partai politik. Rekrutmen politik mempunyai fungsi yang sangat penting karena melalui proses ini orang-orang yang akan menjalankan sistem politik ditentukan. Rekrutmen politik pada dasarnya merupakan fungsi penyeleksian untuk jabatan dan seleksi kepemimpinan.
(http://pustaka.ut.ac.id). Sedangkan menurut Miriam Budiharjo (2007), rekrutmen politik adalah proses dimana partai politik mencari anggota baru dan mengajak orang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik.

Rekrutmen politik adalah proses mencari anggota organisasi yang berbakat oleh organisasi politik/lembaga politik untuk dijadikan pengurus organisasi politik atau dicalonkan oleh organisasi sebagai anggota legislatif atau eksekutif baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Rekrutmen politik merupakan usaha yang dilakukan oleh organisasi politik/lembaga politik untuk mengembangkan organisasi politik. Dalam mengembangkan organisasi politik, maka organisasi politik merekrut sejumlah anggota masyarakat yang berbakat dibidang politik untuk dijadikan anggota organisasi politik. Organisasi politik melakukan rekrutmen pengurus untuk kepentingan regenerasi pengurus, pemekaran pengurus atau pergantian pengurus. Pada sisi lain organisasi politik memilih sejumlah anggota organisasi dan pengurus organisasi untuk dicalonkan sebagai anggota lembaga legislatif atau anggota lembaga eksekutif baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Usaha organisasi politik dalam merekrut anggota organisasi menjadi anggota legislatif, dan eksekutif pada umumnya dilakukan melalui
kaderisasi dan pencalonan. (http://hidayatullah.com)

Aktivitas partai politik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif tercermin dalam sebuah sistem kepartaian. Dalam kaitan ini Ari Darmastuti (2004: 14) menyatakan bahwa Sistem kepartaian adalah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai politik dalam suatu sistem politik. Setiap negara menerapkan sistem kepartaian yang berbeda-beda berdasarkan kondisi masyarakatnya.

Indonesia menggunakan sistem multipartai dengan anggapan bahwa negara yang masyarakatnya majemuk cenderung untuk menggunakan sistem kepartaian ini. Dimana terdapat bermacam-macam perbedaan sosial seperti ras, suku agama, dan status maka golongan-golongan dalam masyarakat akan lebih cenderung untuk menyalurkan loyalitas mereka ke organisasi yang sesuai dengan ikatan primordialnya daripada bergabung dalam kelompok-kelompok lain yang berbeda orientasinya. (Budiarjo, 2007).

Partai politik menjadi suatu pilihan bagi masyarakat untuk menyalurkan loyalitas mereka dalam organisasi. Partai politik menjadi pilihan karena tidak sedikit terdapat partai politik yang didirikan berdasarkan kepentingan tertentu, misalnya agama dan profesi.

B. Koalisi Partai Politik

Sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia pasca Orde Baru mendorong berbagai kalangan untuk mendirikan partai politik. Akibatnya, pemilu pertama setelah Orde Baru pada tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu selanjutnya, tepatnya pada tahun 2004 partai politik yang menjadi pesertanya berjumlah 24. Kemudian menjelang Pemilu 2009, sebanyak 38 partai politik menjadi peserta pemilu. Partai-partai politik tersebut menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan diri dalam aktivitas politik. Namun jumlah partai politik yang mencapai puluhan tersebut membuat tidak adanya partai politik yang mendominasi perolehan suara dalam pemilu. Sehingga secara teoritis, dibutuhkan adanya koalisi untuk membentuk pemerintahan yang kuat.

Terkait dengan hal tersebut Gaffar (2004 : 358-359) menyatakan:
”Dengan jumlah partai politik yang sedemikian besarnya, hampir dapat dipastikan tidak akan ada satu partai politik yang akan mampu memenangkan pemilihan umum dengan mayoritas mutlak, bahkan tidak dengan mayoritas sederhana (simple majority). Implikasinya, partai politik yang menang akan sulit membentuk eksekutif yang kuat dan tidak ada alternatif lain kecuali mengadakan koalisi dengan partai politik yang lain.”

Kemudian dari sudut kelembagaan, Cipto (2000 : 12) menyatakan bahwa partai politik dituntut untuk memahami makna pemerintahan koalisi sebagai persyaratan mutlak dan tak dapat ditawar-tawar dari sistem multipartai.

Koalisi bagi partai politik menjadi agenda yang wajib dilakukan untuk mendapatkan dukungan bagi pemenangan calon yang diajukan (Koirudin, 2004 : 219). Oleh karena itu pada setiap pemilu, baik pada tingkat nasional (Pemilihan Presiden) maupun tingkat daerah (Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota) akan selalu muncul pasangan kandidat yang diusung oleh koalisi partai politik.

Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab kuat bagi partai-partai politik untuk melakukan koalisi.
1. Faktor ideologi, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor ideologi atau aliran-aliran politik merupakan faktor yang cukup signifikan bagi terjadinya koalisi politik. Ideologi bisa diartikan sebagai warna politik yang bisa dicermati gerak-geriknya lewat tradisi-tradisi politik yang dikembangkan, sehingga membentuk politik aliran.
2. Faktor kepentingan politik, partai-partai politik yang berkoalisi atas dasar persamaan kepentingan politik, praktis akan saling menopang satu sama lain untuk menggulirkan maksud-maksud politik mereka, serta tidak jarang selain hendak menggolkan program politik mereka, koalisi dimaksudkan untuk menjegal lawan yang kebetulan telah menjadi common enemy (musuh bersama) (Urbaningrum, 2004 : 163 – 164).

Sejalan dengan pendapat Anas Urbaningrum di atas, Gaffar (2004 : 359) menyatakan bahwa koalisi akan terwujud dengan baik kalau memenuhi dua syarat: pertama, partai yang berkoalisi memiliki kedekatan ideologis; kedua, partai yang berkoalisi memiliki kepentingan yang sama yang mendesak.

Secara teoritis koalisi PKS-PAN telah memenuhi syarat untuk mewujudkan koalisi dengan baik, dimana PKS dan PAN memang memiliki kedekatan jarak ideologis. PKS dengan islam sebagai ideologinya sedangkan PAN berideologi nasionalis. Kemudian PKS dan PAN tentunya memiliki kepentingan yang sama yaitu memenangkan Pilgub Lampung 2008.

Dalam perspektif teori lain, Arend Lijphart membagi teori koalisi menjadi lima jenis. Asumsi dasar lima teori koalisi tersebut berdasarkan pada kecenderungan spektrum ideologi. Jika dianalogikan dalam sebuah garis lurus, partai yang berada pada bagian kiri garis merupakan partai dengan spektrum ideologi kiri. Selanjutnya partai yang berada pada bagian kanan garis merupakan partai dengan spektrum ideologi kanan. Sedangkan partai yang berada pada tengah garis adalah partai dengan spektrum ideologi tengah. Artinya semakin ke kiri, sebuah partai akan semakin sekuler. Sebaliknya, semakin ke kanan, sebuah partai akan semakin religius.

Gambar 1. Spektrum Ideologi Partai Politik

Kiri Kanan
Partai A Partai B Partai C

Lima jenis teori koalisi yang diungkapkan oleh Arend Lijphart berdasarkan spektrum ideologi tersebut yaitu:
1. Minimal Winning Coalitions.
The basic assumption of minimal winning coalition theory is both simple and quite plausible: political parties are interested in maximizing their power. In parliamentary system, power means participation in the cabinet, and maximum power means holding as many of the cabinet position as possible. In order to enter the cabinet, a minority party will have to team up with one or more other parties, but it will resist the inclusion of unnecessary parties in the coalition because this would reduce its share of ministers in the cabinet. (Asumsi dasar dari teori Minimal Winning Coalitions adalah keduanya sederhana dan masuk akal: partai-partai politik yang ditarik dalam pemaksimalan kekuatan mereka. Dalam sistem parlementer, kekuatan berarti partisipasi dalam kabinet dan kekuatan maksimum berarti mempertahankan sebanyak-banyaknya posisi kabinet yang memungkinkan. Untuk memasuki kabinet, sebuah partai minoritas membuat tim dengan satu atau lebih partai lain, tetapi hal ini menentang pencantuman partai-partai yang tidak perlu/tak berguna dalam koalisi karena ini akan mengurangi bagian/porsi dari menteri-menteri di kabinet). (Lijphart, 1984:48).

Prinsip dasar dari koalisi ini adalah maksimalisasi kekuasaan atau sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu. Koalisi tersebut dibentuk tanpa terlalu memperdulikan posisi partai dalam spektrum ideologi. (Cipto, 2000:25).
2. Minimum Size Coalitions.
Minimum size coalition theory is based on the same assumption of power maximization as minimal winning coalition theory, but if follows this rationale to its logical conclusion. If political parties want to exclude unnecessary partners from a coalition cabinet in order to maximize their own share of cabinet power, they should also be expected to prefer the cabinet to be based on the narrowest possible parliamentary majority. (Teori Minimum size coalition adalah dasar atas asumsi yang sama dari maksimalisasi kekuatan sebagai teori minimal winning coalition, tapi jika mengikuti rasional untuk konklusi logis. Jika partai politik ingin mengeluarkan rekan kerja yang tidak penting dari kabinet koalisi yang bertujuan untuk memaksimalkan bagian mereka dari kekuatan kabinet, mereka sebaiknya juga diharapkan lebih menyukai kabinet didasarkan atas kemungkinan terdekat mayoritas parlemen). (Lijphart, 1984:49).

Koalisi ini terbentuk bila suatu partai yang memperoleh suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekedar mencapai suara mayoritas. (Cipto, 2000:25).
3. Bargaining Propotion Coalitions.
A different criterion that may be used to choose among the many coalitions predicted by minimal winning coalition theory is Michael Leiserson’s “bargaining proposition”. He argues that those minimal winning coalition will tend to form that involve the smallest possible number of parties, because “negotiations and bargaining (about the formation of a coalition) are easier to complete, and a coalition is easier to hold together, other things being equal, with fewer parties”. (Sebuah ukuran yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk memilih diantara beberapa koalisi yang diprediksikan dari teori Minimal Winning Coalitions yaitu teori “bargaining proposition” oleh Michael Leiserson. Ia berpendapat bahwa minimal winning coalition akan membangun bentuk yang meliputi partai-partai kecil karena “negosiasi-negosiasi dan tawar menawar (tentang formasi dari koalisi) lebih mudah untuk melengkapi, dan suatu koalisi lebih mudah untuk mempertahankan secara bersama-sama, dengan partai lebih sedikit”). (Lijphart, 1984:49).
Prinsip koalisi ini adalah memudahkan proses negosiasi dan tawar menawar karena anggota atau rekanan koalisi hanya sedikit. Akan tetapi jumlah rekanan koalisi yang sedikit bukan merupakan jaminan bahwa koalisi akan berjalan lancar tanpa gangguan. (Cipto, 2000:26).
4. Minimal Range Coalitions.
Minimal range coalition theory makes the plausible assumption that it is easier to form and maintain coalitions among parties that are far apart in this respect. (Teori minimal range coalition membuat asumsi yang masuk akal sehingga lebih mudah untuk membentuk dan menjaga koalisi diantara partai sehingga tercipta saling menghormati). (Lijphart, 1984:50).

Dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis memudahkan partai-partai berkoalisi membentuk kabinet. (Cipto, 2000:26).
5. Minimal Connected Coalitions.
The underlying assumption of this theory is that parties will try to coalesce with their immediate neighbors and that other adjacent parties will be added until a majority coalition is formed. (Asumsi dasar dari teori ini bahwa partai-partai akan berusaha untuk segera bergabung dengan tetangga-tetangga mereka dan yang mendekati partai-partai akan ditambahkan sampai koalisi mayoritas terbentuk). (Lijphart, 1984:50).

Dasar berpijak teori ini adalah bahwa partai-partai berkoalisi karena masing-masing memiliki kedekatan dalam orientasi kebijakannya. Partai-partai akan mencari anggota koalisi dari partai yang terdekat secara ideologis, yang dengan sendirinya tercermin pada orientasi kebijaksanaan partai. Sehingga partai-partai tidak sekedar tergabung untuk merebut kekuasaan namun juga mempertimbangkan benar-benar kedekatan kebijaksanaan masing-masing partai. (Cipto, 2000:27).

Pada sisi lain terdapat pendekatan hubungan transaksional yang menjelaskan bahwa dalam politik, setiap individu dapat melakukan hal-hal yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan norma, bahkan ada pula yang melanggar Undang-undang.

Lebih lanjut lagi, teori hubungan transaksional menjelaskan tingkah laku, keputusan dan sikap politik seseorang didorong oleh kepentingan pribadi untuk mencapai tujuannya tersebut. Dalam mencapai tujuannya itu seseorang dapat melakukan hal apa saja walaupun bertentangan dengan norma.

Hubungan transaksional yang memiliki kecenderungan erat dengan aktivitas politik dapat tercermin dalam koalisi partai politik. Ketika sebuah partai politik memutuskan untuk melakukan koalisi dengan partai politik lainnya, sangat kecil kemungkinan bahwa tidak ada pertimbangan kepentingan yang mengikutinya. Kepentingan yang dibawa oleh partai tersebut pun bukannya tidak mungkin merupakan kepentingan pribadi seseorang. Sehingga tidak jarang terdapat koalisi partai politik yang tidak bertahan lama karena lebih menonjolnya kepentingan individu dari kepentingan bersama.

Berkaitan dengan hal tersebut Nizam Sulaiman dalam buku Politik Malaysia menyatakan:
”Lumrahnya fenomena perubahan dalam pakatan dan rakan gabungan memperlihatkan betapa kepentingan diri atau kelompok menjadi keutamaan kepada aktor politik.” Lazimnya fenomena perubahan dalam koalisi atau partner gabungan memperlihatkan bahwa kepentingan pribadi atau kelompok menjadi hal utama bagi seorang aktor politik.

Pendapat diatas jika dikaitkan dalam koalisi PKS-PAN dalam Pilgub Lampung 2008 yaitu pada koalisi kedua parpol tersebut terdapat kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok dari seorang aktor politik yang bermain dalam koalisi ini.

Melalui berbagai pendapat yang telah dibahas sebelumnya, peneliti memandang bahwa terdapat hal-hal yang melatarbelakangi PKS dan PAN berkoalisi, yaitu kedekatan ideologis dan adanya suatu kepentingan yang sama dan bersifat mendesak. Selain itu suatu hubungan transaksional merupakan hal yang sulit untuk dielakkan dalam sebuah hubungan yang memiliki unsur politik, seperti dalam suatu koalisi partai politik. Untuk lebih jelasnya, maka kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk sebagai berikut:

Gambar 2. Bagan Kerangka Pikir

1 komentar:

gitapzettira mengatakan...

hai,,tika.
aq gita mahasiswi iisip jakarta.
saya sudah baca proposal penelitian BAB II km.kebetulan skripsi aq juga membahas permasalahan politik koalisi yg berkaitan dengan teori arend lijphart. beberapa dr blog orang yg aq baca juga menjelaskan ttg teori arrend lijphart, tp ga ada yg mencantumkan sumber bukunya.
yg aq mau tny, kira2 buku apa yg membahas ttg teori arend lijphart??
makasi ya sebelumnya...